Wednesday, August 5, 2015

Tabu Buta Batu




Boleh suka batu, asal bukan kepala batu.


Koleksi batu akik atau permata yang saya punya masih sedikit, tak seperti punya beberapa orang teman yang bahkan sudah menjualnya. Dalam kantong plastik ada sekitar 7 jenis batu yang masih berbentuk bongkahan (rough), dalam plastik kecil ada 4 batu sudah dipoles tapi belum punya cincin pengikat, dan dalam dompet bekas tempat emas ada 7 cincin batu, selain sebuah cincin yang saya pakai sendiri di jari manis tangan kiri. Hampir semua koleksi tersebut awalnya tak saya ketahui namanya, namun berkat tanya-tanya pada google dan ahli abal-abal akhirnya saya tahu nama dan jenisnya.
Sedikit dari koleksi batu saya tersebut antara lain Black American Star 4, Giok Hijau Ternate, Badar Lumut, Giok Kuning Manakarra, Hajar Jahanam Ternate, Black Cat Eye, Natural Obsidian, Lavender, Badar Pasir, dan Fosil Kelor. Nama-nama batu ini adalah nama campuran dari saya sendiri berdasarkan hasil gogling, pemberitahuan si pemberi batu, dan informasi sesat dari si pemoles batu.



Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau saya akan memiliki koleksi batu, tidak banyak tapi ada. Waktu masih muda dulu, yang memakai cincin batu yang rata-rata berukuran besar itu adalah orang tua sepuh yang selalu memakai peci dan siap-sedia kapan pun ke Masjid ketika adzan berkumandang, kebanyakan mereka memakai tongkat sebagai penopang berjalan. Namun sekarang, trend batu membuat saya ikut-ikutan membatu. Saya tak mau ketinggalan trend, minimal tahu nama beberapa jenis batu, gaul ceritanya.

Memang tidak semua orang suka dan memakai cincin batu. Tapi saking massifnya pedagang batu maupun cincin pengikat batu di pinggir jalan mau tak mau membuat saya katakan kalau sekarang adalah zaman batu, bukan lagi musim batu. Kalau musim, suatu saat akan hilang dan bukan tak mungkin akan muncul lagi kemudian. Tapi kalau zaman akan bertahan lama, minimal satu abad. Bayangkan saja koleksi batu yang saya miliki suatu saat saya bosan, tidak mungkin batu-batu tersebut saya buang. Paling tidak saya simpan atau diberikan pada orang lain yang kebetulan berjodoh dengan batu saya. Buktinya, sejak dulu pedagang batu akik sudah ada. Ada yang bergerilya ke kantor-kantor menawarkan batu jualannya kepada pegawai kantor, ada yang menjajakan batunya di tepi jalan atau trotoar Masjid. Kadang saya berpikir, adakah yang mau membeli cincin batu sekolot ini? Tapi ternyata ada, buktinya mereka (penjual batu) ini tetap ada hingga sekarang, bisa makan untuk hidup dari hasil menjual batu.

Saya mbatin, kira-kira batu apa yang paling berharga dan yang paling tidak berharga? Bukan batu Intan atau batu Safir yang paling berharga, tapi batulase (tanya orang Bugis Makassar apa itu Batulase). Bukan batu tawas yang paling tidak berharga, tapi batu ginjal (tanya dokter apa itu batu ginjal). Ini batuku, mana batumu?