Sunday, October 25, 2015

Menata Air, Menjaga Kehidupan



Air adalah sumber kehidupan, mari kita jaga demi masa depan


Sudah lima menit mesin pompa air meraung-raung galau. Bunyinya seperti biasa, agak berat parau, rada-rada ngebass, tanda kalau tak ada air yang dihisapnya. Beda sama tetangga depan rumah yang suara mesinnya merdu, rada-rada treble. Sebagai empunya mesin pompa air yang sayang pada si mesin, saya tak mau menunggu mesin air meraung lebih lama. Saya khawatir raungannya semakin pedih dan akhirnya diam tak bersuara. Mesin saya matikan, menunggu saat kira-kira ada air diujung pipa yang siap disedot, untuk dimasukkan ke dalam wadah penampungan. Tapi, waktunya tak bisa ditebak, tak cukup rumus peluang untuk mengetahui kapan air jatah kompleks bisa disedot dengan lancar. 

Sekitar empat tahun yang lalu air masih setia mengunjungi rumah warga kompleks, setiap saat. Kalau butuh air, tinggal putar kran. Tak perlu mesin pompa air untuk menyedot air, belum ada jatah-jatahan. Wajarlah, waktu itu kompleks perumahan masih baru, masih sedikit warga yang tinggal menetap. Barulah setelah menikah dan menempati rumah sendiri, air mulai malas mengalir lancar, mulai banyak warga yang menempati rumahnya. Karenanya kami berpikir untuk memasang tempat penampungan air, plus mesin penyedotnya. Puncaknya saat musim kemarau sekarang ini, air sangat sulit didapatkan, dijatah bergiliran oleh pengelola kompleks yang tak pasti jadwal mengalirnya, kadang sore atau subuh hari. Itupun tak pasti. 


Namun kami mesti banyak bersyukur, teknologi telah maju dan ekonomi semakin membaik. Tak perlu jauh-jauh mengangkat air dengan tenaga triceps sebagaimana usaha orang tua dulu, atau tetangga yang rela tak mandi gara-gara tak kebagian jatah air bersih yang habis disedot tetangganya yang bermesin pompa. Soal tetangga depan yang bunyi mesin pompa airnya merdu, bukan karena harga mesinnya melebihi harga mesin pompa kami, bukan pula karena kualitas mesin yang lebih baik. Tapi bunyi treble itu karena mesin memompa air langsung dari dalam tanah. Ya, tetangga depan rumah memang setahun kemarin memasang pompa air yang sumber airnya dari dalam tanah menggunakan sumur bor. 

Konon tetangga depan rumah tersebut sudah bosan menunggu jatah air dari pengelola kompleks. Mereka lebih sering tidak kebagian air karena tidak memasang mesin. Bosan dengan ”ketidakadilan” tersebut, tetangga depan rumah tersebut lalu membeli mesin pompa air, tapi sekalian dengan membuat sumur bornya. Konon kedalaman sumur bor mencapai 40 meter, kalau kurang dari itu kualitas air tidak bagus, keruh dan berbau. Saat ini tetangga depan rumah menikmati ”hasil jerih payah”nya membuat sumur bor, tidak kekurangan air, bahkan berlebih. Kapanpun kalau butuh air tinggal nyalakan mesin pompa, suara mesinnya pun sangat merdu, rada-rada treble tanpa jeda. Mungkin sakit hati tetangga depan rumah terobati ketika mendengar suara mesin pompa air kami yang kebanyakan berbunyi bariton ketimbang treble. 

Sebenarnya membuat sumur bor untuk keperluan pribadi rumah tangga adalah sebuah ”pelanggaran”. Pengelola kompleks perumahan sejak awal sudah mewanti-wanti warganya untuk tidak membuat sumur bor sendiri. Sebelum menempati rumah, ada sebuah klausul yang mesti ditandatangani, yang salah satu isinya agar pemilik rumah tidak membuat sumur bor sendiri. Selain karena di sekitar kompleks memang susah air bersih dalam artian butuh beberapa puluh meter menggali atau mengebor sumur untuk mendapatkan air bersih, pengelola kompleks (dan kebanyakan warga yang melek huruf) yakin jika masing-masing warga membuat sumur bor maka kuantitas dan kualitas air tanah akan berkurang, cepat atau lambat. Permukaan tanah akan turun menutupi celah tanah karena airnya telah kosong. Akibatnya memang tidak terlihat sekarang, namun yakin saja beberapa (puluh) tahun kedepan akan berdampak buruk terhadap lingkungan. 

 Pengolahan Air Mandiri

Sebagai kompensasi dari ”pelarangan” membuat sumur bor sendiri ini, pengelola kompleks membuat instalasi pengelolaan air sendiri, semacam PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) kecil-kecilan untuk mencukupi kebutuhan air bagi sembilan kluster perumahan dalam satu kompleks. Entah berapa ratus meter kedalaman pipanya hingga bisa mendapatkan air yang cukup. Kami salut, pengelola kompleks tak mau membebani pemerintah akan kecukupan air bersih. Namun entah sampai kapan debit air cukup untuk memenuhi hasrat warga akan air bersih. Selain musim kemarau, semakin banyaknya warga yang tinggal di kompleks perumahan menjadikan warga semakin berebut air. Kalau pengelola tak kreatif mencari dan membangun pengolahan air bersih baru, sepuluh pompa air di masing-masing rumah pun takkan cukup. 

Namun entah mengapa tetangga depan rumah tetap leluasa membuat sumur bor. Konon tetangga depan rumah adalah rumah kedua yang memasang sumur bor di kluster perumahan ini, yang pertama adalah pak RW, konon. Namun karena tetangga depan rumah sudah ”berani” memasang sumur bor, ada beberapa warga yang ikut memasang sumur. Mungkin pengelola kompleks tidak tahu, atau takut menegur, atau oknum pengelola kompleks sudah disogok. Mungkin juga pengelola kompleks mengerti kalau debit air di PDAM-nya sudah tidak cukup memuaskan hasrat warganya akan air, sehingga klausul ”tidak boleh memasang sumur bor sendiri” otomatis tidak berlaku lagi. 

 Calon Perumahan Baru

Pihak pengembang perumahan memang lagi gencar-gencarnya membangun beberapa kluster perumahan tambahan, seakan semakin beringas dan tanpa jeda mengeksploitasi lahan demi keuntungan perusahaan. Semoga saja sumber air yang berkualitas masih cukup untuk seluruh warga. Pun jika tak cukup, pengelola kompleks mau membangun pengolahan air bersih tambahan yang aman bagi lingkungan. 

Kadang kami khawatir, air di bawah permukaan tanah yang dalam itu berkurang lalu habis. Lalu anak cucu kita saling adu jotos karena berebut air. Persoalan air bersih memang persoalan mendasar yang sudah ada sejak jaman bahuela. Bahkan manusia rela bertaruh nyawa memperebutkannya. Uniknya persoalan air bersih, didapatkan susah, dibuang lebih susah. Pengelolaannya bukan sekedar mendapatkannya, namun juga pemanfaatan dan pengelolaan hasil buangannya. 

Karena itu, kelestarian lingkungan dan air merupakan tanggungjawab bersama, antara pemerintah, warga, dan pengelola kompleks perumahan. Minimal kita saling mengingatkan agar tidak membabi buta merusak lingkungan demi kepentingan sesaat. Dampak negatif kerusakan lingkungan hidup harus diminimalkan. Lingkungan hidup harus mampu mendukung kehidupan berkelanjutan, kondisi lingkungan hidup harus dapat dinikmati oleh generasi sekarang tanpa mengurangi kesempatan generasi mendatang. Makanya kami agak kesal ketika mengetahui pak RW sebagai representatif pemerintah malah memberi contoh yang buruk bagi warganya dengan lebih dahulu membuat sumur bor sendiri. 

Sebagai warga negara yang baik, harus “memihak” kepada proses-proses yang meminimalkan dampak negatif kerusakan lingkungan hidup. Oleh sebab itu, warga yang berwawasan lingkungan perlu menumbuhkan sikap: 
  • Pro Keberlanjutan: Lingkungan Hidup yang mampu mendukung kehidupan berkelanjutan, kondisi lingkungan hidup yang dapat dinikmati oleh generasi sekarang tanpa mengurangi kesempatan generasi mendatang. 
  • Pro Keadilan Lingkungan: Berpihak pada kaum yang lemah, agar mendapatkan akses setara terhadap lingkungan yang bersih, sehat dan dapat terhindar dari dampak negatif kerusakan lingkungan. 

Mungkin kalau mesin air terus menerus bersuara bariton, kami pun akan memasang sumur bor, daripada kekeringan. Tapi semoga saja suara bariton mesin pompa air kami bisa berubah menjadi treble, agar kami tidak gegabah membuat sumur bor sendiri karena luapan emosi dan kegelisahan. Semoga anak-cucu kita juga demikian, bisa menikmati merdunya suara treble mesin pompa airnya.


No comments:

Post a Comment