Monday, November 6, 2017

#SepedaMalas goes to Kuri Caddi



Matahari sudah menyembul sedikit di atas bukit, saya mengayuh sepeda dengan setengah semangat ke negeri antah berantah, Kuri Caddi.

Saya belum pernah sekalipun ke Kuri Caddi, namun foto-foto di Google Maps begitu menggoda untuk di jelajahi. Saya paham, kadang (kalau tak dibilang selalu) foto-foto di Google Maps (dan socmed secara umum) hanyalah foto-foto terbaik yang dipamerkan. Yah, narsis memang harus memamerkan yang baik-baik saja, biar kelihatan bahagia, bukan?



Selain paham soal betapa menyesatkannya foto-foto socmed, saya memang lagi mau gowes, mumpung hari libur, sendirian pula. Kalau sebelumnya saya gowes ke daerah pelabuhan perikanan Untia (PPI Untia) di Salodong sana, saya mau merasakan hal baru, walaupun google maps bilang Pantai Kuri Caddi itu jauh. Kalau PPI Untia sekitar 5 kilometer dari rumah, itupun saya pulang kesiangan sambil ngos-ngosan. Google Maps bilang jarak Pantai Kuri Caddi 15 kilometer dari rumah, atau tiga kali lipat PPI Untia! Saya bisa pulang kesorean, dan pingsan sebelum sampai rumah. Namun tekad sudah bulat, pagi itu saya tetap mengayuh sepeda dengan tujuan Pantai Kuri Caddi. Rencananya, pun kalau jam 7 pagi saya belum sampai, setang sepeda akan saya arahkan pulang.





Sekilometer dari rumah, saya sudah ngos-ngosan, kecepatan sepeda seperti orang berjalan saja. Maklum tak pernah olahraga, stamina tak terjaga. Di pinggir jalan tol, saya mengambil jalan pintas di kompleks pergudangan 88, jalan pintas yang belum pernah saya lalui juga. GMaps bilang jalur ini bisa memangkas perjalanan sejauh satu kilometer, lumayan. Bermodal GMaps ponsel, saya memberanikan diri menembus rimba gudang Makassar tersebut. Sampai di daerah Pattene, baru jam setengah tujuh. Saya lanjutkan gowes, lewat jalan beton dan aspal dua desa di Kecamatan Marusu. Tak terasa sudah jam 7, saya tiba di Desa Nisombalia, baru separuh jalan, prinsip “balik saat jam tujuh” tak berlaku lagi, berganti “sekali mengayuh sepeda, pantang setir mengarah pulang”.



Sampai di Kuri Lompo, saya sempat tersesat, ternyata Pantai Kuri Caddi mesti masuk gerbang dari seng yang saya pikir halaman rumah orang. Selain itu, jalan tanah dan berbatu jadi penggoyah semangat. Sempat singgah berpikir keras lanjut atau tidak. Saya khawatir ban pecah, digigit komodo (kadal besar), dibegal, atau diseruduk sapi. Namun tekad kembali kuat saat sepasang muda-mudi lewat naik motor setengah besar menghalau sapi yang memandangi saya dengan tatapan penuh nafsu, seakan baru melihat pangeran tampan naik sepeda.

Dengan ilmu meringankan tubuh, saya gowes melalui jalan ancoer tersebut. Sunyi, sepi sepanjang jalan. Saya menenangkan diri dengan mendengar musik lewat earphone. Hanya biawak besar yang saya sempat lihat melintas, untung dia kehilangan birahi saat saya lewat. Dua orang tua penduduk setempat yang lagi bergaul di tepi empang kemudian menegur dengan ramah. “Kemana Pak?”, saya jawab dengan was-was “Kuri Caddi Pak”. “Oh, lewat saja, masih jauh memutar”. Konon orang desa bilang “dekat”, itu berarti “dekat dikali dua” bagi orang kota. Lah ini bilang “jauh”, mati awak. Tapi saya masih percaya GMaps, tak ada signal modem Andromax, beruntung ada versi GMaps offline, saya keker jarak masih ada sekitar 700 meter. Entah berapa jembatan kayu rusak yang terlewati hingga akhirnya tiba di Pantai Kuri Caddi. Di Pantai Kuri Caddi, disambut dengan hangat oleh sapi-sapi yang lagi sarapan.


Kesan pertama saat tiba di Pantai Kuri Caddi hampir sama lah dengan yang di foto-foto socmed, lumayan indah. Salah dua ikon yang sering saya lihat di foto-foto orang adalah rumah kayu di bawah pohon yang berada di tepi pantai. Rumah singgah ini sudah tak terawat, sementara pantai lumayan bersih dengan pasir coklat. Pantainya berbentuk cekungan sehingga tak ada ombak yang menerpa pantai.





Ada beberapa anak yang mencari kerang dipinggir pantai. Tak berapa lama, ada juga dua goweser yang datang. Dengan sepeda gunung keren dan berhelm, mereka berfoto-foto juga. Sempat berkenalan, mereka baru pertama kali juga ke Kuri Caddi, mungkin gara-gara socmed juga. Mereka dari jalan Teuku Umar. Yu know dimana Teuku Umar? Dua kali jarak rumah saya! Mungkin saya memilih tidur di rumah daripada menempuh jarak sejauh itu. Mereka berdua dari komunitas sepeda UPBC, Ujung Pandang Bike Community. Ingin rasanya ikut komunitas sepeda juga, tapi yakinlah saja saya takkan pernah ngumpul. Saya memilih jadi pesepeda solo, pesepeda malas.

Setelah puas berkeliling dan berfoto, saya beli minum di warung yang ada disana. Sebagai pesepada malas, saya malas membawa bekal air minum dari rumah. Hanya orang-orang lemah yang membawa bekal air minum dari rumah. Hahahaha.. Yang punya warung ibu setengah baya yang sangat ramah. Kalau biasanya saya dipanggil “Pak” melihat perut yang membengkak ini, kali ini saya dipanggil “Nak”, sungguh saya kembali merasa muda beberapa detik. Setelah melepas dahaga, saya sempatkan ke kampung nelayan di Kuri Caddi. Seperti penampakan kampung nelayan kebanyakan, kampung ini terkesan “tak tertata” kalau tak mau dibilang jorok. Sampah dimana-mana, bukan sampah masyarakat, tapi mungkin sampah bawaan dari tengah laut.


Di beberapa bagian kampung, terutama antara lokasi wisata Pantai dengan kampung nelayan banyak kuburan, yang membuat suasana mistis dan sedikit angker. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Setelah puas berkeliling, saya membulatkan tekad untuk pulang, melewati jalan ancoer dan berliku kembali. Semoga sehat selamat pulang ke rumah.


No comments:

Post a Comment