Monday, June 2, 2014

Model Rambut Ala Kadarnya


Seluruh pasang mata (mungkin) tertuju pada saya saat membuka pintu kelas, sejurus kemudian seisi kelas gaduh dengan tawa, senyum, dan bisik-bisik yang berisik. Saya ge er, berasumsi jika kegaduhan tersebut berpenyebab saya yang baru masuk kelas. Tapi gegara apa? Pasti ada yang salah atau terlewat benar dari tindak tanduk saya. Mungkin karena saya terlambat masuk kelas padahal hari itu ujian final, sekonyong-konyong langsung pula mengambil shaf terdepan padahal kebiasaan saya duduk paling belakang. Mungkin tawa itu untuk saya yang jadi tertuduh sudah belajar dengan keras untuk ujian hari itu, dan itu tampak aneh menjurus lucu di mata seisi kelas. Ataukah tawa itu karena perawakan baru kepala saya dengan model rambut ala kadarnya? Sepertinya yang terakhir itu penyebabnya.

Beberapa hari sebelumnya rambut kepala saya memang dicukur, di sebuah tempat rekomendasi istri saya.  Istri saya sudah muak melihat rambut saya yang acak-acakan, tak beraturan, tak ada gagahnya sama sekali. Masalahnya kemudian, mencukur rambut adalah perkara rumit bagi saya. Saya akui, wajah pas-pasan ini tak akan terdongkrak menjadi sedikit tampan dengan model rambut bagaimanapun. Malah, saya khawatir aura wajah ini akan pudar seiring mencukur rambut. Sangat sulit menjelaskan model rambut keinginan saya pada tukang cukur, ribet dan saya yakin mereka tak akan mengerti. Makanya setiap kali mencukur rambut, saya katakan "dirapikan saja!" dengan "cukur rata nomor 4, tanpa dikikis". Saya sudah pengalaman dengan mengkikis habis rambut di atas telinga yang memang rapi namun tak cocok dengan raut wajah saya yang sedikit menebal di daerah pipi. Ketembeman pipi saya memuncak saat area atas telinga dikikis yang membuat wajah saya semakin jelek. Tapi hari itu entah setan apa yang merasuki. Saya pasrah saja saat tukang cukur mengkikis habis rambut di atas telinga. Memang tempat cukur terakhir adalah salon wanita, maksud hati menemani si kecil potong rambut, apalah daya saya terjerumus juga.


Kembali ke kelas, seorang teman menegur dengan tatapan hina. "Rambutmu bagus, seperti rambutnya Danny Wellbeck," katanya. Saya terdiam, mencoba tenang dan mengontrol diri sambil mengeluarkan kalimat rasis "tapi dia lebih hi**m!". Belakangan, saya paham mengapa model rambut seperti ini jadi bahan pemancing tawa. Jawabannya muncul saat saya berfoto bareng burung kakatua jambul hitam di Gowa Discovery Park kemarin. Lebih baik mirip Wellbeck daripada mirip kakatua.  

No comments:

Post a Comment