Sunday, November 8, 2015

Belajar Sportif Ala Valentino Rossi


Dalam olahraga (sport), sportifitas yang paling utama, dan menang (champions) adalah bonusnya.


Drama terjadi di Sirkuit Ricardo Tomo Valencia, dalam gelaran pamungkas MotoGP edisi 2015. Drama yang berakhir antiklimaks bagi pendukung Valentino Rossi, rider gaek bermassa fantastis, pemilik rekor 9 kali juara dunia MotoGP. Sang rider harus puas di tempat kedua klasemen akhir, hanya berbeda 5 point dari rival sekaligus rekan setimnya, Jorge Lorenzo. Dramatisnya, nama yang disebut terakhir berhasil juara setelah menelikung total point Rossi yang sebelumnya berada di puncak klasemen. Adalah Marc Marquez dan Dani Pedrosa, pemain figuran dalam drama kolosal ini yang perannya tak bisa dipandang sebelah mata.




Adalah tragedi "tendangan lutut" dari Rossi ke helm Marquez di gelaran MotoGP Sepang Malaysia yang menjadi titik klimaks drama MotoGP ini, tendangan yang (menurut Rossi) tak disengaja. Jika memang itu adalah tendangan apalagi disengaja, hal yang wajar bila si pelaku dihukum seberat-beratnya karena berlaku tak sportif, mencederai nama baik olahraga. Walaupun akhirnya tak terbukti bersalah karena menendang, Rossi tetap dikenakan sanksi "poin pelanggaran" senilai 3 poin karena dianggap melebarkan jalur Marquez yang akhirnya terjatuh. Poin ini terakumulasi menjadi 4 poin karena telah mendapatkan 1 poin pelanggaran sebelumnya. Hukuman 4 poin pelanggaran tak tanggung-tanggung, harus start diposisi buncit di gelaran seri MotoGP selanjutnya. Makanya Rossi start di Valencia dari garis paling belakang. Juara dunia kemudian menjadi sulit diraih, kecuali Rossi berhasil finish tepat dibelakang Lorenzo yang dengan heroiknya berhasil start dari posisi terdepan.


Disinilah letak jiwa sportif Rossi, walaupun hampir putus asa dan mengancam tak ikut balapan seri terakhir Valencia (mogok balap, karena merasa tidak diperlakukan dengan adil), dia akhirnya ikut walaupun start dari posisi buncit. Hal yang hampir mustahil merangsek dan finish di posisi minimal tepat dibelakang Lorenzo. Selain ada 20-an pembalap di depan yang mesti dilewati, motivasi Marquez yang (mungkin) akan balas dendam melututi Rossi atau minimal mengawal Lorenzo hingga lancar finishnya tak bisa dianggap sepele.

Apa yang terjadi? Rossi berhasil merangsek maju hingga finish di posisi ke-4. Namun apa lacur? Marquez berperan aktif mengawal Lorenzo di depannya, tak ada manuver gila seperti tatkala berduel dengan Rossi di Sepang. Padahal pendukung Rossi berani bertaruh kalau Marquez akan jadi legenda seandainya berhasil finish di depan Lorenzo. Namun itu tak dilakukannya, selain mendukung rekan senegaranya, mungkin Marquez tak mau Rossi semakin melebarkan rekor darinya menjadi 10 kali juara dunia, rekor yang akan sangat sulit dipatahkannya kelak.

Saya sebenarnya fans karbitan MotoGP, baru mulai suka MotoGP saat Rossi sudah memiliki banyak saingan, saat itu adalah Nicky Haiden, Lorenzo, dan Pedrosa sendiri. Nama terakhir adalah idola saya, bukan karena seringnya juara, namun justeru karena tak pernah juara. Ya, saya penganut anti kemapanan, yang tak suka melihat juara yang sama dari tahun ke tahun, juara tanpa pesaing hebat, juara tanpa sparring partner. Termasuk Rossi yang selalu juara di tim manapun. Selain karena tidak pernah juara, saya fans Pedrosa karena dia rider cool, penyabar, dan bertubuh mungil. Sangat sesuai dengan karakter saya. Namun ketidakterlalu sukaan kepada Rossi berbuah simpati akhir musim ini. Rossi secara nyata dikerjai dan dikeroyok Lorenzo-Marquez dengan motivasi masing-masing. Rossi yang lemah, tua, dan sakit-sakitan harus dibela. Namun inilah akhirnya, berakhir antiklimaks bagi Rossi dan fansnya, kecewa memang, karena nilai-nilai sportifitas tak dijaga oleh para pelakunya.


Semoga Rossi bisa tabah lebih lama menghadapi nasibnya gagal juara dunia ke-10 kalinya. Namun di mata dan hati fansnya Rossi lah pemenang sesungguhnya, juara tanpa piala. Semoga musim depan MotoGP bisa lebih seru dan sportif, jangan lambat laun mati karena kehilangan "kepercayaan" penggemarnya disebabkan ulah ridernya yang walaupun hebat tapi tak sportif. Adios so long MotoGP 2015, thanks for the drama.

1 comment: