Monday, December 28, 2015

Ayo naik bus Trans Maminasata



Lagi suntuk? Naik bus yuk!

Kalau di Jakarta terkenal dengan bus Trans Jakarta, di Makassar ada BRT (Bus Rapid Transport) Trans Maminasata. Tak sebanyak rute Trans Jakarta memang, bus Trans Mamibasata ini baru melayani beberapa rute. Namun usaha pemerintah kota Makassar (dan atau Provinsi Sulawesi Selatan?) menghadirkan moda transportasi massal yang aman dan nyaman bagi warga Makassar dan sekitarnya patut diapresiasi. Yang penting sudah berusaha, perihal masyarakat mau memanfaatkannya atau tidak itu urusan kesekian.

Baru 4 koridor yang beroperasi namun cukuplah menjangkau beberapa sudut kota Makassar, plus kota sekitar Makassar (Maminasata = Makassar, Maros, Sungguminasa Gowa, dan Takalar) kecuali Takalar. Adapun rute dan tarif bus Trans Maminasata adalah:



Koridor 1: Bus Bandara
Rute: Ahmad Yani - Tol - Bandara
Rp: 27rb

Koridor 2: Mall Panakkukang - Mall GTC
Rute : Mall Panakkukang (MP) - Mall Ratu Indah (MARI) - Mall GTC - Trans Studio Mall (TSM) - Pantai Losari - Karebosi Link (MTC) - MP
Rp. 5rb

Koridor 3
Rute : Simpang 5 bandara - Daya - Tello - 45 - Pettarani - MP - Alauddin - Terminal Baru Sungguminasa
Rp. 5rb

Koridor 4
Rute : Terminal Daya - Terminal Maros
Rp. 5rb

Bus Trans Maminasata ini beroperasi dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam. Konon ada bus yang melayani masing-masing koridor setiap setengah jam, yang berarti calon penumpang tak perlu menunggu lama di halte, paling lama setengah jam. 

Sebelumnya saya pernah dua kali menikmati busway koridor 2 dari MP ke TSM pergi pulang. Pun dengan koridor 1 dari bandara ke fly over. Tapi itu sudah lama, saat baru beroperasi dan tarif koridor 2 masih Rp 4rb, serta tarif koridor 1 masih Rp 15rb. Saat itu halte busway masih sedikit. Saat itu naik bus koridor 2 dari mall ke mall, sekedar tamasya keluarga. Naik bus koridor 1 pun guna menghemat ongkos transport pulang dari bandara Sultan Hasanuddin.



Hari ini saya coba naik busway Makassar (Bus Maminasata) koridor 4 untuk pertama kalinya, separuh jalan pulang dari Maros ke Makassar. Sekedar mencoba, dengan perkiraan tak ada macet parah yang dilalui. Butuh sedikit perjuangan naik busway. Saya mesti jalan kaki dari kantor ke terminal Maros, jaraknya sekitar 200 meter saja. Halte BRT di Maros (arah dari Maros) hanya ada 2, di terminal Maros dan di depan rumah sakit. Makanya saya ke terminal yang dekat kantor, sekalian olahraga.

Busnya masih (tampak) baru. Naik dalam bus, hanya ada beberapa penumpang, padahal ada 30 kursi penumpang dalam bus. Selain itu, ada 50 pegangan bagi penumpang yang berdiri tak kebagian tempat duduk. Jadi total 80 penumpang yang bisa naik bus. Miris, Trans Maminasata yang saya naiki dari Maros ke Makassar hanya ada sekitar lima penumpang. Tak ada wajah penumpang baru yang naik dari halte atau tengah jalan. Mungkin lebih banyak penumpang satu pete-pete daripada penumpang busway yang saya naiki. Kalau mau, seluruh penumpang bisa tiduran meluruskan tulang belakang di atas kursi bagai kasur sendiri. Sungguh sangat ironis, melihat kondisi kemacetan di jalan raya. Tepat satu jam perjalanan dari Maros ke Daya, tanpa macet.


Entah mengapa warga Makassar (khusus koridor 4, mungkin juga koridor-koridor lainnya) enggan naik bus, padahal pernah ada bus DAMRI yang beroperasi di seantero Makassar yang selalu penuh sesak penumpang. Padahal (lagi) hitung-hitungan matematis, lebih ekonomis naik busway daripada naik pete-pete (tarif pete-pete Daya ke Maros Rp 7rb).

Mungkin bagi yang memilih naik pete-pete, lebih praktis naik pete-pete, bisa naik turun sepuasnya dimanapun, kapanpun, dan dengan kondisi bagaimanapun. Beda dengan naik busway yang ada aturannya, harus naik lewat halte (walaupun masih ada kebijakan bisa naik busway bukan di halte, asal mau naik lewat pintu bagian depan). Mungkin naik pete-pete sudah membudaya bagi warga Makassar. Mungkin sopir pete-pete memakai penglaris atau baca jampi-jampi biar penumpangnya selalu banyak. Atau mungkin warga Makassar masih malu-malu naik busway, takutnya mual lalu muntah karena masuk angin kena angin dingin bus ber-AC. Mungkin.

Mungkin bagi yang memilih naik motor, lebih murah nan praktis naik motor, tak terbatasi jalur dan trayek, cukup beli BBM bersubsidi (yang turun harga lagi) dan terjelajahlah seantero kota. Mungkin bagi yang memilih naik mobil, ego dan gengsinya lebih tinggi. Lebih baik menumpuk kendaraan di jalan raya dan membuat macet daripada naik moda transportasi umum. Tak perlu juga berjalan kaki kalau naik motor atau mobil. Pantas saja penyakit degeneratif bagi warga Makassar meningkat pesat, penyakit kurang bergerak, minim berolahraga.

Saya miris melihat dan merasakan busway yang minim penumpang ini, konon kondisi demikian normal adanya. Lalu darimana biaya operasional perum DAMRI yang mengoperasikan bus Maminasata ini? Sampai kapan mau terus merugi? Saya khawatir bus Maminasata yang dioperasikan untuk memanjakan warga Makassar ini tak akan bertahan lama, kemudian euthanasia, dimatikan daripada terus merugi.

Mungkin harus ada inovasi pemerintah, mensosialisasikan busway ala Makassar ini dengan kreatif. Coba menggratiskan penumpang di waktu-waktu tertentu, atau memberikan doorprize bagi penumpang yang beruntung, atau promo-promo kreatif lainnya. Warga Makassar suka anugerah, anu gratis.

Ayo pakai transportasi umum, naik bus Trans Makassar. Aman, nyaman, dan pastinya murah meriah.

#AyoNaikBus

1 comment: